”Naiklah ke lantai tertinggi gedung bertingkat. Buka salah satu jendelanya,
dan meludahlah. Maka dapat dipastikan ludah itu akan jatuh mengenai orang-orang
di bawah gedung. Dan minimal satu dari orang yang terkena ludah itu adalah
sarjana, pengangguran pula!” Demikian candaan seorang pemateri pelatihan
wirausaha beberapa waktu silam.
Tentu saja Anda tidak perlu percaya dan mempraktekkan guyonan pemateri itu.
Tetapi, tetap saja guyonan itu mempunyai arti yang begitu dalam di benak kita,
karena hal itulah yang terjadi di negara tercinta kita ini. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2011, 8,12 juta (6,8 persen)
angkatan kerja kita adalah pengangguran terbuka ─sama sekali tidak memiliki
pekerjaan─ dan sekitar 600 ribu (7,6 persen) orang diaantaranya adalah mereka
yang telah lulus universitas alias sarjana. Kondisi ini sedikit lebih baik jika
dibandingkan dengan Agustus 2010, di mana jumlah penganggur sarjana mencapai
sekitar 700 ribu orang (8,5 persen). Tetapi tetap saja angka itu angka yang
sangat besar.
Apa sebab para sarjana ini sulit mendapatkan pekerjaan?
Selama ini, hampir semua mahasiswa dalam perguruan tinggi hanya ingin
mengejar IPK tinggi dan lulus dengan cepat. Dan memang bukanlah suatu hal yang
salah untuk mengejar IPK yang tinggi, akan tetapi hal ini patut untuk
derenungkan. Pasalnya IPK tinggi tidak menjamin para mahasiswa untuk dapat
diterima di suatu perusahaan.
Sekarang ini, IPK lebih dari 3,0 sudah menjamur dimana-mana. Dari yang dulu
dalam sebuah universitas orang yang lulus dengan predikat cumlaude bisa
dihitung dengan jari, pada saat ini dalam setiap jurusan saja sudah cukup
banyak orang yang lulus dengan predikat cumlaude. Oleh karena itu kebanyakan
perusahaan sekarang menggunakan IPK minimal 3,0 sebagai salah satu syarat untuk
memasuki suatu perusahaan. Yang sayangnya IPK ini hanyalah diumpamakan sebagai
kunci masuk saja. Lalu apa yang bisa membuat kita diterima disuatu perusahaan??
“Dan ternyata menurut hasil beberapa penelitian, kesuksesan seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuan mengelola emosi atau tergantung pada tingkat kecerdasan sosialnya (softskil). Semakin cerdas sosial, semakin sukses.”
Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa salah satu jalan yang bisa ditempuh
untuk mengurangi angka pengangguran dari kaum sarjana adalah selain
meningkatkan hardskillnya tetapi juga meningkatkan softskillnya.
Selain itu, mindset bangsa indonesia sekarang ini, hanya melulu mencari kerja/bekerja dibawah orang lain. Padahal jumlah pekerjaan yang ada tidak sebanding dengan angkatan kerja yang ada. Oleh karena itu, seorang mahasiswa sebaiknya dibekali dengan ilmu enterpreneur sehingga kelak bisa membuka usaha sendiri dan bisa mempekerjakan orang-orang disekitarnya.